BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA
I.
Pendahuluan
Pada bagian
akhir dari suatu perjanjian, biasanya dicantumkan suatu klausula yang dapat
menentukan penyelesaian sengketa. Sengketa dimulai dari suatu situasi dimana
salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lain.
Pada umumnya
di dalam kehidupan suatu masyarakat telah mempunyai cara untuk menyelesaikan
konflik atau sengketa sendiri, yakni proses penyelesaian sengketa yang ditempuh
melaluli cara-cara formal maupun informal. Penyelesaian sengketa secara formal
berkembang menjadi proses adjudikasi yang
terdiri atas proses melaluli pengadilan (litigasi)
dan arbitrase (perwasitan), serta proses penyelesaian-penyelesaian konflik
secara informal yang berbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa
melalui negosiasi, mediasi.
II.
Cara-Cara Penyelesaian Sengketa
Didalam
penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, antara lain
negosiasi (negotiation),
melalui pihak ketiga, mediasi, konsiliasi, arbitrase, peradilan, dan peradilan
umum.
a. Negosiasi (Negotiation)
Negosiasi
(negotiation) adalah proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai
kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak
(kelompok atau organisasi) lain. Negosiasi juga diartikan suatu cara
penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak yang
berperkara.
Sementara
itu, yang harus diperharikan bagi para pihak yang melakukan perundingan secara
negosiasi (negotiation) harus
mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan dengan damai.Namun, penyelesaian
sengketa yang dilakukan melalui pihak ketiga dapat terjadi dengan cara, antara
lain mediasi arbitrase.
b. Mediasi
Mediasi
adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu
perselisihan sebagai penasihat. Dengan demikian, dalam hal ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa mediasi merupakan salah satu bentuk negosiasi antara para
pihak yang bersengketa dan melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu demi
tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis.
Sementara
itu, pihak ketiga yang ditunjuk membantu menyelesaikan sengketa dinamakan
sebagai mediator. Oleh karena itu, pengertian mediasi mengandung unsur-unsur,
antara lain:
1.
Merupakan sebuah proses penyelesaian sengketa
berdasarkan perundingan;
2. Mediator
terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa didalam perundingan;
3. Mediator
bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian;
4. Tujuan
mediasi untuk mencapai ata menghasilkan kesepakatan yang diterima pihak-pihak
yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.
Dengan demikian, tugas utama mediator sebagai
fasilitator dan menemukan dan merumuskan persamaan pendapat, seperti berikut :
1. Sebagai
tugas utama adalah bertindak sebagai seorang fasilitator sehingga terjadi
pertukaran informasi yang dapat dilaksanakan.
2. Menemukan
dan merumuskan titik-titik persamaan dari argumentasi para pihak dan berupaya
untuk mengurangi perbedaan pendapat yang timbul (penyesuaian persepsi),
sehingga mengarahkan kepada suatu keputusan bersama.
c.
Konsiliasi
Konsiliasi
adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai
persetujuan dan penyelesaian. Dengan demikian, konsiliasi merupakan proses
penyelesaian sengketa alternatif dan melibatkan pihak ketiga yang
diikutsertakan untuk menyelesaikan sengketa.
Sementara
itu, mengenai konsiliasi disebutkan didalam buku Black’s Law Dictionay, Conciliation
is the adjustment and settlement of a dispute in a friendly, unantagonistic
manner used in court before trial with a view towards avoiding trial and in
labor dispute before arbitrarion. Court of conciliation is court with propose
terms of adjustments, so as to avoid litigation. Namun, apa yang
disebutkan dalam Black’s Law
Dictionary pada prinsipnya konsiliasi merupakan perdamaian sebelum
sidang peradilan (litigasi).
Dengan
demikian, konsiliator dalam proses konsiliasi harus memiliki peran yang cukup
berarti. Oleh karena itu, konsiliator berkewajiban untuk menyampaikan
pendapat-pendapatnya mengenai duduk persoalannya.
Dalam
menyelesaikan perselisihannya, konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk
menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak kepada yang bersengketa.
Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat putusan dalam sengketa untuk
dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi
yang diambil sepenuhnya oleh parah pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam
bentuk kesepakatan diantara mereka.
d. Arbitrase
Arbitrase
adalah usaha perantara dalam meleraikan sengketa. Dalam hal ini, ada beberapa
definisi yang diberikan oleh para ahli hukum, antara lain Subekti dan
Abdulkadir Muhammad.
1.
Subekti mengatakan arbitrase merupakan suatu
penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang
berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk dan menaati keputusan yang akan
diberikan wasit atau para wasit yang mereka pilih atau ditunjuk.
2.
Abdulkadir Muhammad mengatakan arbitrase
merupakan badan peradilan swasta diluar lingkungan peradilan unum yang
dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih
dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang
bersengketa. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan merupakan kehendak bebas
pihak-pihak yang bersengketa. Kehendak bebas ini dituangkan dalam perjanjian
tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan
asa kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.
3. Dalam Pasal 3 ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970, menyatakan bahwa penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar
perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan. Akan tetapi putusan
arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial (exexutoir) setelah memperoleh
izin atau perintah untuk dieksekusi dari pengadilan.
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal
walaupun disebabkan oleh suatu keadaan, seperti dibawah ini:
1.
Meninggalnya salah satu pihak,
2.
Bangkrutnya salah satu pihak,
3. Novasi
(pembaharuan utang),
4. Insolvensi
(keadaan tidak mampu membayar) salah satu pihak,
5. Pewarisan,
6. Berlakunya
syarat-syarat hapusnya perikatan pokok,
7. Bilamana
pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak kegita dengan persetujuan
pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut, atau
8. Berakhirnya
atau batalnya perjanjian pokok.
Dalam pada itu, arbitrase ada dua jenis, yakni
arbitrse ad hoc atau arbitrase volunter dan arbitrase institusional.
1.
Arbitrse ad hoc atau arbitrase volunter
Arbitrse ad
hoc atau arbitrase volunter merupakan arbitrase yang dibentuk secara khusus
untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu. Oleh karena itu
arbitrse ad hoc bersifat “insidentil”, dimana kedudukan dan keberadaannya hanya
untuk melayani dan memutuskan kasus perselisihan tertentu maka apabila telah
menyelesaikan sengketa dengan diputuskan perkara tersebut, keberadaan dan
fungsi arbitrse ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya.
2. Arbitrase
institusional
Arbitrase
institusional merupakan suatu lembaga atau badan arbitrase yang bersifat
“permanen”, sehingga Arbitrase institusional tetap berdiri untuk selamanya dan
tidak bubar, meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus.
Sementara
itu, di Indonesia terdapat dua lembaga arbitrase yang memberikan jasa
arbitrase, yakni Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI).
Dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, para pihak berhak unruk memohon pendapat
yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu
perjanjian. Lembaga arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para
pihak dalam suatu perjanjian dan memberikan suatu pendapat yang mengikat
(binding opinion) mengenai persoalan yang berkenan dengan perjanjian tersebut,
misalnya terdapat penafsiran ketentuan yang belum jelas, yakni adanya
penambahan atau perubahan pada ketentuan yang berhubungan dengan munculnya
keadaan yang baru.
Dengan
demikian, putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum dan
mengikat para pihak. Keputusan arbitrase bersifat final, berarti putusan
arbitrase merupakan putusan final karenanya tidak dapat diajukan banding,
kasasi, atau peninjauan kembali.
Sementara
itu, ketua pengadilan negeri dalm memberikan perintah pelaksanaan kepurusan
arbitrase harus memeriksa syarat-syarat untuk dijadikan suatu putusan
arbitrase, seperti:
1. Para pihak
telah menyetujui bahwa sengketa diantara mereka akan diselesaikan melalui
arbitrase;
2. Persetujuan
untuk menyelesaikan sengketa melaluli arbitrase dimuat dalam suatu dokumen yang
ditanda tangani oleh parah pihak;
3. Sengketa
yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya di bidang perdagangan dan
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan;
4. Sengketa
yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah yang tidak bertentangan dengan
kesusilaan dan ketertiban umum.
Dalam hal
pelaksanaan keputusan arbitrase internasional berdasarkan Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999, yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sementara
itu, berdasarkan pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, suatu putusan
arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum
Republik Indonesia, jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut.
1. Putusan
arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase disuatu
negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara
bilateral maupun multiteral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase internasional.
2. Putusan
arbitrase internasional terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum
Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
3. Putusan
arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh
eksekutor dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dengan
demikian, suatu Putusan arbitrase terhadap para pihak dapat mengajukan
permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur,
seperti berikut :
1. Surat atau
dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan diketahui
palsu atau dinyatakan palsu.
2. Setelah
putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan dan yang
disembunyikan oleh pihak lawan.
3. Putusan
diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa.
Dengan
demikian, permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara
tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari pernyataan dan
pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri di mana
permohonan tersebut diajukan kepada ketua pengadilan negeri.
Terhadap
putusan pengadilan negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung
yang memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung
mempertimbangkanserta memutuskan permohonan banding dalam waktu paling lama 30
hari setelah permohonan banding tersebt diterima oleh Mahkamah Agung.
e.
Peradilan.
Dalam
menegakkan hukum, hakim melaksanakan hukum yang berlaku dengan dukungan rasa keadilan
yang ada padanya berdasarkan hukum yang berlaku, meliputi yang tertulis dan
tidak tertulis. Oleh karena itu, disebutkan bawa hakim atau pengadilan adalah
penegak hukum.
Sementara
itu, berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, penyelenggara
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berbeda di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh mahkamah konstitusi.
f.
Peradilan Umum
Dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, yang dimaksud dengan peradilan umum adalah
salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang pada umumnya
mengenai perkara perdata dan pidana.
Dengan
demikian, kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh
pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung.
1. Pengadilan Negeri
Pengadilan
negeri adalah pengadilan tingkat pertaman yang berkedudukan di kotamadya atau
ibukota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau
kabupaten, yang dibentuk dengan keputusan presiden.
2. Pengadilan Tinggi
Pengadilan
tinggi adalah pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibukota propinsi
dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi yang dibentuk dengan
Undang-Undang.
Sementara
itu, pengadilan tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan
perkara perdata ditingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan yang
mengadili antar pengadilan negeri didaerah hukumnya
3. Mahkamah Agung
Ketentuan
mengenahi Mahkamah Agung diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1985,
merupakan pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang
dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintahan dan
pengaruh-pengaruh lain, yang berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.
Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
1. Permohonan
kasasi,
2. Sengketa
tentang kewenangan mengadili,
3. Permohonan peninjauan
kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Mahkamah Agung memutuskan permohonan kasasi terhadap
putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan
peradilan.
Dalam
tingkat kasasi Mahkamah Agung membatalkan putusan atau penetapan
pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan, karena:
1. Tidak
berwenang atau melampaui batas wewenang,
2. Salah
menetapkan atau melanggar hukum yang berlaku,
3. Lalai
memenuhi syarat-syarat yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan
yang bersangkutan.
Mahkamah Agung memeriksa dan memutuskan permohonan
peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang
diatur dalam perundang-undangan.
Referensi:
Kartika Sari, Elsi dan
Alvendi Simanunsong. 2008. Hukum dalam Ekonomi. Jakarta : PT Grasindo.
Debhora.
2011. Penyelesaian Sengketa. [Online]. https://odebhora.wordpress.com/2011/05/17/penyelesaian-sengketa/